Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.
Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.
Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat, Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.
Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.
Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).
Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya)."
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya.
Dalam level atau konsep al-Mumtani’at tidak mungkin dijumpai adanya pertentangan dan paradoks antara satu sifat dan sifat lainnya.
Misalnya antara al-Dhahir dan al-Bathin; al-Awwal dan al-Akhir; serta al-Jalal dan al-Jamal, karena semua itu adalah sifat dari hakikat ketuhanan yang tidak mungkin berada di dalam level aktual.
Sebagai entitas yang berada di level Wahidiyyat, Al-A’yan ats-Tsabitah merupakan sesuatu yang tidak terciptakan (uncreatable). Semua ciptaan (maj’ul) seperti semua jenis alam, termasuk para malaikat, adalah wujud yang sudah aktual (kharijiyyah), karena itu segala yang diciptakan (maj’ul) tidak bisa disebut dengan Al-A’yan ats-Tsabitah.
Konsep Al-A’yan ats-Tsabitah mempunyai beberapa tingkatan. Bermula dari ta’ayyun pertama (al-Ta’ayyun al-Awwal) ialah level Wahidiyyah yang merupakan manifestasi dari Ahadiyyah. Dari kesadaran diri Al-Haq di level Ahadiyyah kemudian melahirkan level Wahidiyyah.
Di level inilah dikenal konsep Al-A’yan ats-Tsabitah yang sebenarnya berbicara banyak tentang form Ilmu Tuhan (Ilmiyyah Al-Haq) yang biasa juga disebut dengan Al-Shuwwar al-‘Aqliyyah dan form tentang nama-nama Tuhan (Al-Asma’ Al-Haq). Dengan menguasai konsep Al-A’yan ats-Tsabitah diharapkan memudahkan kita memahami alam dan diri kemanusiaan kita yang dikenal sebagai makhluk termulia (ahsan taqwim).
Pengenalan diri secara komprehensif dengan sendirinya memungkinkan kita memahami Tuhan secara komprehensif pula. Rasulullah pernah memberikan sugesti kepada kita dengan mengatakan, "Man 'arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu (Barang siapa yang sudah memahami dirinya maka ia sudah memahami Tuhannya)."
Dalam hadits ini, Rasulullah menggunakan fi’il madhi, yang mengisyaratkan pada saat manusia sedang memahami dirinya pada saat itu juga memahami Tuhannya. Jadi, bukan bersifat sequent, memahami diri dulu baru memahami Tuhan. Semoga Allah SWT memudahkan kita memahami diri untuk memahami diri-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar