Istilah Filsafat Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya... (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan, Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing.
Ada 7 (tujuh) mazhab pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab didasarkan pada tiga hal: pertama, didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); kedua, pada segi pengaruh yang diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti 'mazhab Tiongkok', 'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan 'mazhab Barat'), dan ketiga, didasarkan pada kronologi historis (seperti 'mazhab paska-Soeharto'). Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat Indonesia dan filsuf-filsuf mereka yang utama.
Mazhab ini mengambil filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya ialah mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis membangun rumahnya dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka hasilkan, epik-epik yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat etnis tersebut. ‘Filsafat’ ini tidak dapat berubah; ia senantiasa sama, dari awal-mula hingga akhir dunia, dan ia senantiasa merupakan ‘Yang Baik’. ‘Filsafat’ ini mengajarkan setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang asal-mula lahirnya kelompok etnis itu ke dunia (bahasa Jawa, sangkan) dan tentang tujuan (telos) hidup yang akan dicapai kelompok etnis itu (bahasa Jawa, paran), sehingga anggotanya tidak akan sesat dalam hidup.
Mazhab ini melestarikan filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli, karena filsafat-filsafat itu telah dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka berhubungan dengan tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.
Kebanyakan tokoh mazhab ini berasumsi bahwa orang Indonesia kontemporer berada pada posisi ‘buta’ terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo, misalnya, berpandangan bahwa banyak orang Indonesia sekarang yang …lupa melestarikan nilai-nilai asli mereka… dan …lupa masa-lalu, lupa asal-mula, mereka seperti orang hilang-ingatan… yang …mengabaikan sejarah nasional mereka sendiri… (Sumardjo 2003:23, 25). Akibatnya, mereka ‘terasingkan’; teralienasi dari ‘budaya-budaya ibu mereka’ (Sumardjo 2003:53). Gagalnya kebijakan pendidikan Indonesia, bagi Jakob, disebabkan oleh ‘kebutaan’ terhadap budaya asli Indonesia ini (Sumardjo 2003:58). Karena itu, misi penting dari mazhab filsafat ini ialah menggali, mengingat, dan menghidupkan-kembali nilai-nilai etnis yang asli, karena nilai-nilai merupakan ‘ibu’ (lokalitas adalah ibu manusia), sedangkan manusia ialah ‘bapak’ keberadaan (balita ialah bapak manusia) (Sumardjo 2003:22).
Berikut ini adalah beberapa pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini:
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrant-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan (SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran hsiao dari Konghucu (bahasa Indonesia, menghormati orangtua). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. Sun Yat-senisme, Maoisme, dan Neo-maoisme merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Suryadinata 1990:15).
Filsuf-filsuf utama dari mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: Tjoe Bou San, Kwee Hing Tjiat, Liem Koen Hian, Kwee Kek Beng, dan Tan Ling Djie.
Pembauran atau difusi filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum Brahmana Hindu dan penganut Buddhisme dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan Tantrayana. Ini jelas tercermin pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850 M. (SarDesai, 1989:44-47). Rabindranath Tagore, seorang filsuf India yang mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang tidak-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari sumber yang sama.
Hindu dan Buddhisme—dua filsafat yang saling berlawanan di India—bersama-sama dengan filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan Sambhara Suryawarana, Mpu Prapanca, dan Mpu Tantular.
10-abad proses Indianisasi ditantang oleh kedatangan Sufisme Persia, dan Sufisme mulai mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan Islam yang masif di Indonesia (Nasr 1991:262). Raja-raja dan sultan-sultan seperti Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Kudus, Sultan Trenggono, Pakubuwana II, Pakubuwana IV, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah, Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja Muhammad Yusuf adalah raja-sufi; mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru Sufi terkemuka (Perpustakaan Nasional 2001:12-39).
Sufisme di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua kelompok: Ghazalisme dan Ibn Arabisme. Ghazalisme utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Ghazali, sedangkan Ibn Arabisme dari doktrin-doktrin Ibn Arabi. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf Al-Singkeli, Abd al-Shamad Al-Palimbangi, dan Syekh Yusuf Makassar, sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah Hamzah Al-Fansuri, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain (Nasr 1991:282-287).
Wahhabisme-Arab juga pernah diadopsi oleh Raja Pakubuwana IV dan Tuanku Imam Bonjol, yang misi utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran Quranik (Hamka 1971:62-64).
Di saat Modernisme Islamik, yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Pencerahan Barat, dimulai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir tahun 1800-an, maka muslim-muslim di Indonesia juga mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini nampak jelas dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul Karim Amrullah, Kyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain (Noer 1996:37).
Sejak pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (Politik Etis) di awal tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu mengajarkan Filsafat Barat sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, Filsafat Pencerahan—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah 5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi pertama intelligentsia bergaya Eropa, yang kelak menganut Filsafat Barat untuk menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
Filsafat Barat mengilhami banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan republik Indonesia, konstitusinya serta distribusi kekuasaan (distribution of power), partai politik dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model Barat. Bahkan ideologinya ``Pancasila’’ (Yang telah diciptakan oleh Soekarno atau yang kemudian disalahgunakan oleh Soeharto), terinspirasi dari ideal-ideal Barat tentang humanisme, demokrasi-sosial, dan sosialisme nasional Nazi Jerman, seperti yang nampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang 1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun di atas cetak-biru Barat.
Sangat menarik untuk diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi demokrasi Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik, sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut Demokrasi Terpimpin (Soekarno 1963:376). D.N. Aidit dan Tan Malaka mengadaptasikan Marxisme-Leninisme dengan situasi Indonesia (Aidit 1964:i-iv; Tan Malaka 2000:45-56) dan Sutan Syahrir yang mengadaptasikan Demokrasi-Sosial dengan konteks Indonesia (Rae 1993:46).
Bersama-sama dengan pencarian kapitalis Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran Kristen mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15 (Lubis 1990:78). Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan ajaran Katolik dan ajaran Calvin. Fransiskus Xaverius, pewarta Katolik pertama dari Spanyol yang menumpang kapal Portugis, menerjemahkan Credo, Confession Generalis, Pater Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh Perintah Tuhan ke bahasa Melayu antara tahun 1546-1547, yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebar-luaskan kepada penduduk Hindia Belanda (Lubis 1990:85). Gereja-gereja Katolik pun didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun 1596. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai gantinya. Jan Pieterszoon Coen, salah seorang Gubernur-Jenderal VOC tahun 1618, adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut Ziekentroosters) di bawah kendalinya (Lubis 1990:99).
Sekolah-sekolah Katolik bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkan teologi di dalamnya, tapi juga Filsafat Kristen (Christian Philosophy). Satu sekolah lalu menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada) universitas-universitas swasta Katolik dan Protestan yang mengajarkan Filsafat Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat yang telah bertitel Master dalam bidang filsafat dari universitas Eropa, berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia (Hiorth 1987:4). Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang menguasai Filsafat Kristen, seperti Nico Syukur Dister, J.B. Banawiratma, Franz Magnis-Suseno, Robert J. Hardawiryana, Y.B. Mangunwijaya, TH. Sumartana, Martin Sinaga, dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari beliau adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah Filsafat Politik, yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa ITB Bandung 1973 dan Peristiwa Malari 1974. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktikkan dalam utopia; praksis dan inteleksi dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya penalaran yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. Pancasila menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945) (Hidayat 2004:49-55).
Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang.
Referensi Bahasa Indonesia
- Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbitan, 1963.
- Nasroen, M., Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967.
- Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
- Alisjahbana, S. Takdir., Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Ditinjau dari Jurusan Nilai-Nilai, Jakarta: Yayasan Idayu, 1977.
- Parmono, R., Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1985.
- Larope, J., IPS Sejarah, Surabaya: Penerbit Palapa,1986.
- Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita Offset1987
- Suryadinata, Leo., Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien, Jakarta: LP3ES, 1990.
- BPUPKI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) & Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia, 1995.
- Noor, Deliar., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996.
- Malaka, Tan., Aksi Massa (Mass Action), Jakarta: CEDI & Aliansi Press, 2000.
- Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan Sebaliknya: Seri Kliping Perpustakaan Nasional dalam Berita Vol.II No.1, Jakarta: Sub Bagian Humas Perpustakaan Nasional RI, 2001.
- Sumardjo, Jakob., Mencari Sukma Indonesia, Yogyakarta: AK Group, 2003.
- Hidayat, Ferry., Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, paper yang tidak diterbitkan, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar