Sebelum melangkah pada pembahasan
mengenai konsep waĥdatul wujūd, sebaiknya yang pertama kali
kita uraikan adalah istilah kuncinya, yakni wujūd. Banyak
penulis merasa kesulitan dalam menemukan suatu terjemah yang tepat bagi
kata wujūd.[1]
Kebanyakan dari mereka lebih memilih tidak menerjemahkan istilah ini ke
dalam kata yang pendek atau singkat. Mereka tetap menggunakannya dengan
terlebih dahulu diberi penjelasan panjang lebar, sebagai konsep yang
independent maupun digunakan sebagai bahasa teknis yang disesuaikan
dengan konteksnya.
Kata wujūd mempunyai pengertian
obyektif sekaligus subyektif.[2]
Dalam pengertian obyektif, kata wujūd adalah masdar dari wujida
yang artinya “ditemukan”. Dalam pengertian ini biasanya wujūd
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi being atau existence
atau “ada” dan di dalamnya terdapat aspek ontologis.[3]
sedangkan dalam pengertian subyektif wujūd adalah masdar dari wajada
yang berarti “menemukan”. Biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris menjadi finding dan di dalamnya terdapat aspek
epistemologis.[4]
dalam sistem Ibnu ‘Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis.[5]
Pada satu fihak, wujūd atau satu-satunya wujūd adalah
“menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan para pencari
rohani. Orang-orang yang “menemukan” Tuhan oleh Ibnu ‘Arabi disebut
sebagai ahlu kasyf wal wujūd (orang-orang yang menyingkap dan
menemukan).[6]
Ketika Ibnu ‘Arabi berbicara tentang
sesuatu yang spesifik atau suatu ide yang dapat didiskusikan, dia
menggunakan term eksistensi yang artinya sesuatu itu ada dan dapat
ditemukan. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa Tuhan
mewujud atau “Tuhan ada dan ditemukan”.[7]
Seperti hubungan antara timur dan barat,
depan dan belakang, jika wujūd diartikan sebagai “yang ada”
atau eksistensi, kita akan dihadapkan pada konsekwensi logisnya yakni
‘adam, “ketiadaan” atau non eksistensi. Hubungan wujūd dengan ‘adam
dinisbatkan secara mutlak oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hubungan antara
cahaya dan kegelapan. Wujūd adalah cahaya dan ‘adam
adalah kegelapan, karena itu wujūd atau cahaya adalah milik
Tuhan sedangkan ‘adam atau kegelapan adalah milik alam atau
kosmos.[8]
Ibnu ‘Arabi seringkali menggunakan kata wujūd
dalam pengertian yang beragam, tetapi dalam pengertian fundamental wujūd
adalah satu. Perbedaan pengertian pada saat istilah ini digunakan harus
dipahami dengan mengandaikan perbedaan realitas tunggal dan penampakan wujūd
itu sendiri. Pada tingkatan tertinggi wujūd adalah realitas
Tuhan yang absolut dan tidak terbatas, yakni “wujūd niscaya” (wajibul
wujūd). Dalam pengertian ini wujūd menandakan esensi
Tuhan atau Hakikat (Dzat al Ĥaqq), yaitu satu-satunya realitas
yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah wujūd
berupa substansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan (Ma
Siwallah). Dengan cara inilah Ibnu ‘Arabi mendefinisikan alam,
kosmos atau jagad raya (al ‘alam). Pada pengertian kedua ini
istilah wujūd digunakan sebagai stenografi untuk merujuk pada
keseluruhan yang eksis dan ditemukan di jagad raya[9].
Pengertian wujūd yang senada
juga telah dikemukakan oleh AE. Affifi yakni (a) wujūd sebagai
suatu konsep : ide tentang wujūd eksistensi atau wujūd bil
ma’na al masdari, (b) wujūd berarti yang mempunyai wujud,
yakni yang ada atau yang hidup atau wujūd bil ma’na maujūd.[10]
Dalam kamus Khasanah
Istilah Sufi disebutkan definisi wujūd sebagai
berikut : wujūd adalah eksistensi, wujūd atau
penemuan. Jika diartikan sebagai wujūd istilah ini menunjukkan
Dzat Allah itu sendiri. Jika diartikan sebagai eksistensi, wujūd
menunjukkan segala sesuatu di alam semesta. Jika diartikan sebagai
penemuan, wujūd menunjukkan pengalaman “menemukan” Allah.
Kalangan penegas, penyingkap dan penemu “menemukan” Allah secara terus
menerus dan tiada henti, baik di alam semesta maupun di dalam diri
mereka sendiri. Untuk definisi waĥdatul wujūd kamus ini
menyebutkan : kesatuan eksistensi, kesatuan wujud atau kesatuan
penemuan. Di akhir perjalanan hanya Allah yang ditemukan[11].
Dari pengertian-pengertian wujūd
di atas, yakni “menemukan”, “ada” ataupun eksistensi, makna paling
fundamental yang menjadi inti dari pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah wujud
sebagai realitas absolut yang dinisbatkan pada Tuhan. Sedangkan term wujūd/eksistensi
yang juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan kosmos termasuk
manusia memiliki makna majazi atau metaforis, bukan secara hakikat.
Dengan dijelaskannya pengertian wujūd,
sebenarnya arti istilah wahdah al wujūd sudah dapat
dibayangkan dalam pikiran kita. Jika wujūd adalah satu-satunya
realitas yang ada, maka waĥdah sebagai kata depan dari wujūd
memiliki arti sebagai tambahan, waĥdatul wujūd atau kesatuan
wujud atau kesatuan eksistensi. Meskipun demikian, waĥdah tidak
sekedar menjadi tambahan saja. Waĥdah memiliki makna yang sama
dengan tauhid[12],
sebuah pengakuan keesaan yang merupakan prinsip dasar dalam bangunan
Islam. Waĥdah menjadi awal kata yang memberikan power lebih
kepada wujūd untuk menjadi satu istilah khusus yang
membedakannya dari pengertian lain, yang kemudian menjadi trade mark
dari pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Persepsi tentang waĥdatul wujūd
dapat dianalogikan dengan apa yang kita pahami ketika ada sorot cahaya
menembus sebuah prisma : sekalipun terdapat banyak warna cahaya yang
berbeda, namun kita memahaminya hanya berupa cahaya, karena hanya
cahayalah yang eksis. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa wadah manifestasi
Tuhan bersifat jamak karena keanekaragaman sifat-sifat dan efek yang
ditampilkan. Namun mereka satu, karena kesatuan wujud yang menjelmakan
di dalamnya. Kesatuan muncul dalam manifestasi wujud (segala sesuatu),
sementara keragaman bersemayam dalam entitas-entitas yang tidak memiliki
eksistensi sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam keesaan-Nya adalah
identik dengan wujud dari segala sesuatu, tetapi Dia juga tidak identik
dengan segala sesuatu itu.[13]
Menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi
tidak hanya menekankan keesaan wujud, tapi menekankan juga keanekaan
realitas. Ia mengajarkan konsep tanzih (ketakdapat
dibandingkan) dan tasybih (kemiripan); konsep al bathin
(yang tidak tampak) dan al Zhahir (yang tampak); al Ĥaqq
dan al Khalq konsep-konsep yang disebut pertama menunjukkan
dari segi Dzat-Nya yang satu, sedangkan yang kedua menunjukkan
nama-nama-Nya dan penampakan-Nya yang melahirkan keanekaragaman.[14]
Menurut Ibnu ‘Arabi, keragaman dan
kemajemukan adalah inheren di dalam Sang Asal. Sama seperti angka adalah
inheren dalam unit “satu”. Keragaman ini disebutnya sebagai Nama-nama
Ilahi, yang menggambarkan hubungan yang inheren di dalam wujūd
itu sendiri. Nama-nama itu dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
transenden dan imanen. Transenden adalah nama yang menunjukkan keadaan
dimana wujūd absolut berada di luar wujūd relatif
berdasarkan atas interioritas dan prioritas logis. Sedang imanen
menunjukkan keadaan dimana wujūd dihubungkan dengan
relatifisasi. Mereka hanya dapat dikenali atau diketahui jika
efek-efeknya termanifestasikan. Misalnya, untuk menggambarkan-Nya
sebagai Yang Absolut, kita harus melepaskan-Nya dari semua batas dan
kondisi. Tapi dalam waktu yang sama, batas dan kondisi harus dilekatkan
pada bentuk lain agar kita dapat mentransendenkan-Nya dari bentuk lain
itu. Untuk menggambarkan-Nya sebagai Tuhan Penguasa, memerlukan
eksistensi yang membuat-Nya menjadi Tuhan. Untuk memanggil-Nya Tuhan
diperlukan eksistensi tempat menjalankan fungsi ketuhahanan-Nya.
Eksistensi yang dimaksud adalah dunia atau alam, dimana nama Tuhan
memainkan peran-Nya, baik secara langsung atau tidak dalam mementaskan
drama Ilahiah. Demikianlah Ibnu ‘Arabi memandang dunia yang terdiri dari
kemajemukan merupakan manifestasi (tajalli) tanpa akhir dari wujūd
Tuhan.[15]
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud
menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai Yang Zahir memperlihatkan
Diri-Nya dalam suatu wadah manifestasi (locus of
manifestation/mazhar) yakni dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak
memperlihatkan diri-Nya sebagai Yang Bathin, karena sebagai Yang Bathin
Dia tidak dapat dijangkau dan diketahui. Di dalam kosmos ini berbagai
wadah manifestasipun tampak, dan semua itu dikenal dengan “segala
sesuatu” atau entitas-entitas. Wadah manifestasi itu tidak ada dengan
sendirinya, karena Tuhanlah pemilik wujūd.[16]
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa segala yang maujud di jagad raya
mendapat pinjaman wujūd dari Tuhan dan karenanya tidak abadi
dan akan kembali pada wujūd hakiki (Tuhan).
Al Ĥaqq identik dengan locus
manifestasi. Yang menjelma adalah sifat-sifat dari entitas yang mungkin,
yang kekekalannya berasal dari keabadian tanpa awal. Mereka tidak
memiliki wujud, maka al Ĥaqq dinyatakan terlalu suci untuk
ternodai oleh perubahan sifat-sifat dari mumkin al wujūd di
dalam entitas wujūd al Ĥaqq.[17]
Menurut Ibnu ‘Arabi kesatuan adalah
karakteristik pertama dari Nama atau asal usul dari segala sesuatu.
Menggambarkan-Nya sebagai Yang Satu adalah cara terbaik untuk
menunjukkan-Nya, tapi cara ini tidak menjelaskan dan menggambarkan-Nya.
Karena realitas mutlak tidak dapat dinamai, dideskripsikan dan tetap
tidak dikenal. Yang Satu dan Yang Unik (al Waĥid al Aĥad)
adalah sebutan yang paling tepat. Nama ganda ini mengekspresikan makna
tunggal dari keesaan dan sekaligus menunjukkan perbedaan dalam kesatuan.
Nama pertama adalah al Waĥid al Aĥad
yang merupakan Nama gabungan seperti Baalbek atau rumhurmuz atau al
Raĥman al Raĥim. Ia menunjukkan pada esensi terdalam dari
kemandirian dan kesempurnaan, bukan sebagai hubungan yang dengannya Dia
disifati. Al Waĥid al Aĥad adalah Nama esensial bagi-Nya.[18]
Jika Yang Satu dan Yang Unik adalah asal
usul dari segala sesuatu, bagaimana bisa kemajemukan muncul dan kita
melihat segala sesuatu dalam keragaman? Ibnu ‘Arabi menganggap hal ini
sebagai salah satu bukti bahwa rahmat Allah mengalahkan murka-Nya,
mengarahkan pada kebahagiaan tertinggi dari semua ciptaan-Nya.[19]
“Ketika Tuhan adalah akar dari segala keragaman dan keyakinan di dalam
kosmos, dan ketika Dia menyebabkan eksistensi segala sesuatu di dalam
kosmos sesuai ketentuan tanpa terasuki oleh apapun, maka segala sesuatu
ada karena rahnat-Nya”.[20]
Ibnu ‘Arabi adalah tokoh pemikir yang
mengangkat problem metafisika dengan menggunakan kerangka sufistik,
memandangnya melalui dzauq dan menguraikannya dengan akal
murni, sehingga apa yang diungkapkannya bersifat hakikat. Baginya
hakikat adalah wujūd dan wujūd adalah satu. Kalaupun
nampak keanekaragaman, itu hanyalah akibat dari keterbatasan indera dan
rasio manusia dalam menangkap hakikat yang satu. Disamping banyak yang
mengecamnya banyak pula para penulis tidak keberatan untuk mengatakan
bahwa rumusan pemikiran dari Kesatuan Wujud mengandung kedalaman,
kejernihan dan kehalusan yang tidak tertandingi. Prinsip ini bukan
sekedar apresiasi dari ide intelektual seorang tokoh genius, melainkan
usaha pencarian makna hidup yang harus diungkapkan dan diaktualisasikan.
Waĥdatul wujūd tidak dapat disejajarkan dengan kepercayaan
kepada Yang Esa dalam konteks agama Ibrahim tertentu. Prinsip ini
bersifat absolut di luar pertentangan, meliputi semua kepercayaan dan
doktrin. Prinsip tersebut muncul dalam segala sesuatu namun tidak
terkandung di dalam segala sesuatu.
[1]
Seperti diakui William C. Chittick dalam Dunia Imajinal Ibnu
‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, terj.
Ahmad Syahid (Surabaya : Risalah Gusti, 2001) hlm. 27.
[2]
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al ‘Arabi, Wahdat al Wujūd dalam
Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1995) hlm. 42.
[3]
Ontologi adalah salah satu bagian dari cabang filsafat metafisika.
Berasal dari kata Yunani on (yang ada) dan logos (ilmu/penyelidikan
tentang). Ontologi membicarakan asas-asas rasional “yang ada” atau
mengetahui esensi terdalam dari “yang ada”. Lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana,
1996) hlm. 76
[4]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula,
susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Louis O. Kattsoff, ibid.
[5]
Seperti juga diartikan oleh William C. Chittick bahwa wujūd adalah
menemukan, ada atau eksistensi. “Menemukan berada dalam dataran
epistemologis dan sekaligus ontologis. William C. Chttick, Sufi Path
Of Knowledge (SPK), Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu,
terj. Achmad Nidjam dkk. (Yogyakarta : Qalam, 2001) hlm. 40.
[6]
Ahlu Kasyf wal Wujūd, yaitu mereka yang telah mampu membuka
tabir (hijab) yang menjadi penghalang antara mereka dan Tuhan;
merekapun kemudian berada dalam kehadiran Tuhan. William C. Chittick, ibid,
hlm. 37.
[7]
Ibid., hlm. 45.
[8]
Dijelaskan dalam Futūĥātul Makkiyyah 3 : 274 ; 4 : 39 ; 2 :
486. Diungkapkan oleh Kautsar Azhari Noer, op. cit., hlm. 43.
[9]
William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi … op. cit.,
hlm. 28.
[10]
A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi
dan Nandi Rahman (Jakarta : GMP, 1995) hlm. 14.
[11]
Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi, terj. MS.
Mashrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung : Mizan, 1995) hlm. 321 dan 311.
[12]
Al Waĥdah menurut Amstrong adalah kesendirian Tuhan. Berada
diantara keesaan tertinggi (al Aĥadiyyah) dan ketunggalan unik (al
Waĥidiyyah). Sang hamba Allah berkehendak untuk menyelam ke sumber
lautan kesendirian Allah. Di dalam keesaan tertinggi sang hamba muncul
dalam Allah. Inilah kesempurnaan yang banyak di dalam Yang Satu, dan
Yang Satu di dalam yang banyak. Hamba adalah hamba dan Tuhan adalah
Tuhan. Inilah kesempurnaan dari pengahambaan. Ibid., hlm. 309.
[13]
William C. Chittick, Dunia Imajinal, op. cit., hlm.
32.
[14]
Kautsar Azhari Noer, op. cit., 35. Secara tipikal Syaikh
menggunakan dalil Qur’an Surat 57 : 3.
[15]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujūd, Ajaran
& Kehidupan Spritual Syaikh al Akbar Ibn ‘Arabi, terj :
Triwibowo B.s. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 29.
[16]
William C. Chittick, Dunia Imajinal … loc. cit.
[17]
Al Futūĥāt al Makkiyyah IV : 202.6. Dikutip oleh
William C. Chittick, Dunia Imajinal … ibid.
[18]
Al Futūĥāt II : 57. Dikutip oleh Stephen Hirtenstein. Dari
Keragaman … op. cit., hlm. 28
[19]
Sesuai dengan hadits shahih “Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya”.
Menurut Henry Corbin, Tuhan bersedih dalam kesendirian-Nya. Dia merindu
untuk disingkapkan dalam bentuk makhluk-makhluk yang akan
memanifestasikan diri-Nya. Dalam kesendirian inilah yang turun dalam
bentuk nafas Ilahi (tanaffus) berupa kasih (rahman)
dan peng – ada – an (‘ijad). Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi
(Yogyakarta : LKIS, 2002) hlm. 237 – 238.
[20]
Al Futūĥāt III : 465 . 23. Dikutip oleh William C. Chittick, Dunia
Imajinal … op. cit., hlm. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar