Sabtu, 17 Maret 2012

Mengenal Wahdatul Wujūd

Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai konsep waĥdatul wujūd, sebaiknya yang pertama kali kita uraikan adalah istilah kuncinya, yakni wujūd. Banyak penulis merasa kesulitan dalam menemukan suatu terjemah yang tepat bagi kata wujūd.[1] Kebanyakan dari mereka lebih memilih tidak menerjemahkan istilah ini ke dalam kata yang pendek atau singkat. Mereka tetap menggunakannya dengan terlebih dahulu diberi penjelasan panjang lebar, sebagai konsep yang independent maupun digunakan sebagai bahasa teknis yang disesuaikan dengan konteksnya.
Kata wujūd mempunyai pengertian obyektif sekaligus subyektif.[2] Dalam pengertian obyektif, kata wujūd adalah masdar dari wujida yang artinya “ditemukan”. Dalam pengertian ini biasanya wujūd diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi being atau existence atau “ada” dan di dalamnya terdapat aspek ontologis.[3] sedangkan dalam pengertian subyektif wujūd adalah masdar dari wajada yang berarti “menemukan”. Biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi finding dan di dalamnya terdapat aspek epistemologis.[4] dalam sistem Ibnu ‘Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis.[5] Pada satu fihak, wujūd atau satu-satunya wujūd adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan para pencari rohani. Orang-orang yang “menemukan” Tuhan oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai ahlu kasyf wal wujūd (orang-orang yang menyingkap dan menemukan).[6]
Ketika Ibnu ‘Arabi berbicara tentang sesuatu yang spesifik atau suatu ide yang dapat didiskusikan, dia menggunakan term eksistensi yang artinya sesuatu itu ada dan dapat ditemukan. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa Tuhan mewujud atau “Tuhan ada dan ditemukan”.[7]
Seperti hubungan antara timur dan barat, depan dan belakang, jika wujūd diartikan sebagai “yang ada” atau eksistensi, kita akan dihadapkan pada konsekwensi logisnya yakni ‘adam, “ketiadaan” atau non eksistensi. Hubungan wujūd dengan ‘adam dinisbatkan secara mutlak oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hubungan antara cahaya dan kegelapan. Wujūd adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan, karena itu wujūd atau cahaya adalah milik Tuhan sedangkan ‘adam atau kegelapan adalah milik alam atau kosmos.[8]
Ibnu ‘Arabi seringkali menggunakan kata wujūd dalam pengertian yang beragam, tetapi dalam pengertian fundamental wujūd adalah satu. Perbedaan pengertian pada saat istilah ini digunakan harus dipahami dengan mengandaikan perbedaan realitas tunggal dan penampakan wujūd itu sendiri. Pada tingkatan tertinggi wujūd adalah realitas Tuhan yang absolut dan tidak terbatas, yakni “wujūd niscaya” (wajibul wujūd). Dalam pengertian ini wujūd menandakan esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al Ĥaqq), yaitu satu-satunya realitas yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan terbawah wujūd berupa substansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan (Ma Siwallah). Dengan cara inilah Ibnu ‘Arabi mendefinisikan alam, kosmos atau jagad raya (al ‘alam). Pada pengertian kedua ini istilah wujūd digunakan sebagai stenografi untuk merujuk pada keseluruhan yang eksis dan ditemukan di jagad raya[9].
Pengertian wujūd yang senada juga telah dikemukakan oleh AE. Affifi yakni (a) wujūd sebagai suatu konsep : ide tentang wujūd eksistensi atau wujūd bil ma’na al masdari, (b) wujūd berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada atau yang hidup atau wujūd bil ma’na maujūd.[10]
Dalam kamus Khasanah Istilah Sufi disebutkan definisi wujūd sebagai berikut : wujūd adalah eksistensi, wujūd atau penemuan. Jika diartikan sebagai wujūd istilah ini menunjukkan Dzat Allah itu sendiri. Jika diartikan sebagai eksistensi, wujūd menunjukkan segala sesuatu di alam semesta. Jika diartikan sebagai penemuan, wujūd menunjukkan pengalaman “menemukan” Allah. Kalangan penegas, penyingkap dan penemu “menemukan” Allah secara terus menerus dan tiada henti, baik di alam semesta maupun di dalam diri mereka sendiri. Untuk definisi waĥdatul wujūd kamus ini menyebutkan : kesatuan eksistensi, kesatuan wujud atau kesatuan penemuan. Di akhir perjalanan hanya Allah yang ditemukan[11].
Dari pengertian-pengertian wujūd di atas, yakni “menemukan”, “ada” ataupun eksistensi, makna paling fundamental yang menjadi inti dari pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah wujud sebagai realitas absolut yang dinisbatkan pada Tuhan. Sedangkan term wujūd/eksistensi yang juga digunakan untuk menjelaskan keberadaan kosmos termasuk manusia memiliki makna majazi atau metaforis, bukan secara hakikat.
Dengan dijelaskannya pengertian wujūd, sebenarnya arti istilah wahdah al wujūd sudah dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Jika wujūd adalah satu-satunya realitas yang ada, maka waĥdah sebagai kata depan dari wujūd memiliki arti sebagai tambahan, waĥdatul wujūd atau kesatuan wujud atau kesatuan eksistensi. Meskipun demikian, waĥdah tidak sekedar menjadi tambahan saja. Waĥdah memiliki makna yang sama dengan tauhid[12], sebuah pengakuan keesaan yang merupakan prinsip dasar dalam bangunan Islam. Waĥdah menjadi awal kata yang memberikan power lebih kepada wujūd untuk menjadi satu istilah khusus yang membedakannya dari pengertian lain, yang kemudian menjadi trade mark dari pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Persepsi tentang waĥdatul wujūd dapat dianalogikan dengan apa yang kita pahami ketika ada sorot cahaya menembus sebuah prisma : sekalipun terdapat banyak warna cahaya yang berbeda, namun kita memahaminya hanya berupa cahaya, karena hanya cahayalah yang eksis. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa wadah manifestasi Tuhan bersifat jamak karena keanekaragaman sifat-sifat dan efek yang ditampilkan. Namun mereka satu, karena kesatuan wujud yang menjelmakan di dalamnya. Kesatuan muncul dalam manifestasi wujud (segala sesuatu), sementara keragaman bersemayam dalam entitas-entitas yang tidak memiliki eksistensi sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam keesaan-Nya adalah identik dengan wujud dari segala sesuatu, tetapi Dia juga tidak identik dengan segala sesuatu itu.[13]
Menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi tidak hanya menekankan keesaan wujud, tapi menekankan juga keanekaan realitas. Ia mengajarkan konsep tanzih (ketakdapat dibandingkan) dan tasybih (kemiripan); konsep al bathin (yang tidak tampak) dan al Zhahir (yang tampak); al Ĥaqq dan al Khalq konsep-konsep yang disebut pertama menunjukkan dari segi Dzat-Nya yang satu, sedangkan yang kedua menunjukkan nama-nama-Nya dan penampakan-Nya yang melahirkan keanekaragaman.[14]
Menurut Ibnu ‘Arabi, keragaman dan kemajemukan adalah inheren di dalam Sang Asal. Sama seperti angka adalah inheren dalam unit “satu”. Keragaman ini disebutnya sebagai Nama-nama Ilahi, yang menggambarkan hubungan yang inheren di dalam wujūd itu sendiri. Nama-nama itu dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu transenden dan imanen. Transenden adalah nama yang menunjukkan keadaan dimana wujūd absolut berada di luar wujūd relatif berdasarkan atas interioritas dan prioritas logis. Sedang imanen menunjukkan keadaan dimana wujūd dihubungkan dengan relatifisasi. Mereka hanya dapat dikenali atau diketahui jika efek-efeknya termanifestasikan. Misalnya, untuk menggambarkan-Nya sebagai Yang Absolut, kita harus melepaskan-Nya dari semua batas dan kondisi. Tapi dalam waktu yang sama, batas dan kondisi harus dilekatkan pada bentuk lain agar kita dapat mentransendenkan-Nya dari bentuk lain itu. Untuk menggambarkan-Nya sebagai Tuhan Penguasa, memerlukan eksistensi yang membuat-Nya menjadi Tuhan. Untuk memanggil-Nya Tuhan diperlukan eksistensi tempat menjalankan fungsi ketuhahanan-Nya. Eksistensi yang dimaksud adalah dunia atau alam, dimana nama Tuhan memainkan peran-Nya, baik secara langsung atau tidak dalam mementaskan drama Ilahiah. Demikianlah Ibnu ‘Arabi memandang dunia yang terdiri dari kemajemukan merupakan manifestasi (tajalli) tanpa akhir dari wujūd  Tuhan.[15]
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai Yang Zahir memperlihatkan Diri-Nya dalam suatu wadah manifestasi (locus of manifestation/mazhar) yakni dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak memperlihatkan diri-Nya sebagai Yang Bathin, karena sebagai Yang Bathin Dia tidak dapat dijangkau dan diketahui. Di dalam kosmos ini berbagai wadah manifestasipun tampak, dan semua itu dikenal dengan “segala sesuatu” atau entitas-entitas. Wadah manifestasi itu tidak ada dengan sendirinya, karena Tuhanlah pemilik wujūd.[16] Dengan begitu dapat dikatakan bahwa segala yang maujud di jagad raya mendapat pinjaman wujūd dari Tuhan dan karenanya tidak abadi dan akan kembali pada wujūd hakiki (Tuhan).
Al Ĥaqq identik dengan locus manifestasi. Yang menjelma adalah sifat-sifat dari entitas yang mungkin, yang kekekalannya berasal dari keabadian tanpa awal. Mereka tidak memiliki wujud, maka al Ĥaqq dinyatakan terlalu suci untuk ternodai oleh perubahan sifat-sifat dari mumkin al wujūd di dalam entitas wujūd al Ĥaqq.[17]
Menurut Ibnu ‘Arabi kesatuan adalah karakteristik pertama dari Nama atau asal usul dari segala sesuatu. Menggambarkan-Nya sebagai Yang Satu adalah cara terbaik untuk menunjukkan-Nya, tapi cara ini tidak menjelaskan dan menggambarkan-Nya. Karena realitas mutlak tidak dapat dinamai, dideskripsikan dan tetap tidak dikenal. Yang Satu dan Yang Unik (al Waĥid al Aĥad) adalah sebutan yang paling tepat. Nama ganda ini mengekspresikan makna tunggal dari keesaan dan sekaligus menunjukkan perbedaan dalam kesatuan.
Nama pertama adalah al Waĥid al Aĥad yang merupakan Nama gabungan seperti Baalbek atau rumhurmuz atau al Raĥman al Raĥim. Ia menunjukkan pada esensi terdalam dari kemandirian dan kesempurnaan, bukan sebagai hubungan yang dengannya Dia disifati. Al Waĥid al Aĥad adalah Nama esensial bagi-Nya.[18]
Jika Yang Satu dan Yang Unik adalah asal usul dari segala sesuatu, bagaimana bisa kemajemukan muncul dan kita melihat segala sesuatu dalam keragaman? Ibnu ‘Arabi menganggap hal ini sebagai salah satu bukti bahwa rahmat Allah mengalahkan murka-Nya, mengarahkan pada kebahagiaan tertinggi dari semua ciptaan-Nya.[19] “Ketika Tuhan adalah akar dari segala keragaman dan keyakinan di dalam kosmos, dan ketika Dia menyebabkan eksistensi segala sesuatu di dalam kosmos sesuai ketentuan tanpa terasuki oleh apapun, maka segala sesuatu ada karena rahnat-Nya”.[20]
Ibnu ‘Arabi adalah tokoh pemikir yang mengangkat problem metafisika dengan menggunakan kerangka sufistik, memandangnya melalui dzauq dan menguraikannya dengan akal murni, sehingga apa yang diungkapkannya bersifat hakikat. Baginya hakikat adalah wujūd dan wujūd adalah satu. Kalaupun nampak keanekaragaman, itu hanyalah akibat dari keterbatasan indera dan rasio manusia dalam menangkap hakikat yang satu. Disamping banyak yang mengecamnya banyak pula para penulis tidak keberatan untuk mengatakan bahwa rumusan pemikiran dari Kesatuan Wujud mengandung kedalaman, kejernihan dan kehalusan yang tidak tertandingi. Prinsip ini bukan sekedar apresiasi dari ide intelektual seorang tokoh genius, melainkan usaha pencarian makna hidup yang harus diungkapkan dan diaktualisasikan. Waĥdatul wujūd tidak dapat disejajarkan dengan kepercayaan kepada Yang Esa dalam konteks agama Ibrahim tertentu. Prinsip ini bersifat absolut di luar pertentangan, meliputi semua kepercayaan dan doktrin. Prinsip tersebut muncul dalam segala sesuatu namun tidak terkandung di dalam segala sesuatu.

[1] Seperti diakui William C. Chittick dalam Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, terj. Ahmad Syahid (Surabaya : Risalah Gusti, 2001) hlm. 27.
[2] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al ‘Arabi, Wahdat al Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1995) hlm. 42.
[3] Ontologi adalah salah satu bagian dari cabang filsafat metafisika. Berasal dari kata Yunani on (yang ada) dan logos (ilmu/penyelidikan tentang). Ontologi membicarakan asas-asas rasional “yang ada” atau mengetahui esensi terdalam dari “yang ada”. Lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996) hlm. 76
[4] Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Louis O. Kattsoff, ibid.
[5] Seperti juga diartikan oleh William C. Chittick bahwa wujūd adalah menemukan, ada atau eksistensi. “Menemukan berada dalam dataran epistemologis dan sekaligus ontologis. William C. Chttick, Sufi Path Of Knowledge (SPK), Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu, terj. Achmad Nidjam dkk. (Yogyakarta : Qalam, 2001) hlm. 40.
[6] Ahlu Kasyf wal Wujūd, yaitu mereka yang telah mampu membuka tabir (hijab) yang menjadi penghalang antara mereka dan Tuhan; merekapun kemudian berada dalam kehadiran Tuhan. William C. Chittick, ibid, hlm. 37.
[7] Ibid., hlm. 45.
[8] Dijelaskan dalam Futūĥātul Makkiyyah 3 : 274 ; 4 : 39 ; 2 : 486. Diungkapkan oleh Kautsar Azhari Noer, op. cit., hlm. 43.
[9] William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabiop. cit., hlm. 28.
[10] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta : GMP, 1995) hlm. 14.
[11] Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi, terj. MS. Mashrullah dan Ahmad Baiquni (Bandung : Mizan, 1995) hlm. 321 dan 311.
[12] Al Waĥdah menurut Amstrong adalah kesendirian Tuhan. Berada diantara keesaan tertinggi (al Aĥadiyyah) dan ketunggalan unik (al Waĥidiyyah). Sang hamba Allah berkehendak untuk menyelam ke sumber lautan kesendirian Allah. Di dalam keesaan tertinggi sang hamba muncul dalam Allah. Inilah kesempurnaan yang banyak di dalam Yang Satu, dan Yang Satu di dalam yang banyak. Hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Inilah kesempurnaan dari pengahambaan. Ibid., hlm. 309.
[13] William C. Chittick, Dunia Imajinal, op. cit., hlm. 32.
[14] Kautsar Azhari Noer, op. cit., 35. Secara tipikal Syaikh menggunakan dalil Qur’an Surat 57 : 3.
[15] Stephen  Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujūd, Ajaran & Kehidupan Spritual Syaikh al Akbar Ibn ‘Arabi, terj : Triwibowo B.s. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 29.
[16] William C. Chittick, Dunia Imajinal … loc. cit.
[17] Al Futūĥāt al Makkiyyah IV : 202.6. Dikutip oleh William C. Chittick, Dunia Imajinal … ibid.
[18] Al Futūĥāt II : 57. Dikutip oleh Stephen Hirtenstein. Dari Keragaman … op. cit., hlm. 28
[19] Sesuai dengan hadits shahih “Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya”. Menurut Henry Corbin, Tuhan bersedih dalam kesendirian-Nya. Dia merindu untuk disingkapkan dalam bentuk makhluk-makhluk yang akan memanifestasikan diri-Nya. Dalam kesendirian inilah yang turun dalam bentuk nafas Ilahi (tanaffus) berupa kasih (rahman) dan peng – ada – an (‘ijad). Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi (Yogyakarta : LKIS, 2002) hlm. 237 – 238.
[20] Al Futūĥāt III : 465 . 23. Dikutip oleh William C. Chittick, Dunia Imajinal … op. cit., hlm. 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar