Sabtu, 17 Maret 2012

AL-QUR’AN BAHASA HIPNOTIS DAN DALAM KONTEKS LA-RAIBAFIIH


AL-QUR’AN DALAM KONTEKS LA-RAIBAFIIH

Dalam tubuh Islam, al-Qur’an mempunyai kedudukan yang signifikan dan percaya terhadap al-Qur’an merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun iman.... Tapi meskipun demikian, nuansa yang mencuat kepermukaan justru sebaliknya. Keniscayaan al-Qur’an sebagai sabda Tuhan kini masih perlu dipertanyakan dan diragukan. Hal ini menjadi galib, mengingat al-Qur’an sendiri menjelma ke muka bumi dalam wajahnya yang global, serta dipaksa untuk bisa menjawab pelbagai persoalan yang serba kompleks. Untuk menjawab wacana di atas kita dipaksa untuk berani menafsir ulang al-Qur’an yang sangat sedikit sekali disentuh oleh mufasir-mufasir pendahulu.

Dari sekian banyak literatur kepustakaan, tak ada satu pun yang berani mengafirmasikan dalam karangan ilmiahnya “bahwa buku ini tidak ada keraguan di dalamnya”, kecuali al-Qur’an. Kalau kita cermati surat al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi “al-Qur’an itu tidak ada keraguan di dalamnya”, itu adalah suatu isyarat bahwa keimanan adalah hal yang paling mendasar yang bisa menepis keraguan. Tapi modal keimanan an sich tidaklah cukup. Sebab al-Qur’an tidak hanya untuk diyakini, tetapi sebagai hidayah bagi manusia. Bagaimana al-Qur’an menjadi hidayah, ini tentunya al-Qur’an meski ditafsirkan, dipahami dan diamalkan. Dan untuk menafsirkan al-Qur’an, kita dituntut untuk memiliki senjata supaya sampai kearah situ. Dengan bersenjatakan ilmulah kita bisa memahami al-Qur’an. Oleh karenanya, iman sebagai basis teologis, ilmu sabagai basis teoritis, dan amal sebagai bentuk aplikatif hendaklah sinergi dan tetap bergandeng tangan.

Dalam sejarah pewahyuan al-Qur’an belum banyak bersentuhan dengan problematika yang serba kompleks. Lain halnya dengan sekarang, dimana al-Qur’an benar-benar menghadapi tantangan yang serius. Memang, tetapi sekompleks apapun masalahnya, al-Qur’an tetap mempunyai basis moral dan basis normatif untuk menyelesaikannya. Inilah pungsinya kenapa al-Qur’an menjelma dalam bentuknya yang global. Al-Qur’an memang bukan buku sains, politik, sejarah, ekonomi, maupun budaya, tetapi perlu diingat bahwa masalah-masalah seperti itu ada dalam al-Qur’an.

Sekarang persoalannya adalah bagaimana memaknai dan memperlakukan al-Qur’an sebagaimana mestinya. Dalam memaknai dan menafsirkan, perlu kerja keras dan ekstra hati-hati. Karena kita tidak bisa menyodorkan langsung hasil penafsirannya kepada sang pengarang apakah benar atau salah. Jadi, keeksisan al-Qur’an bisa dipertahankan tergantung bagaimana kita menafsirkanya. Dalam persentuhanya dengan era globalisasi, dimana kemajuan di pelbagai bidang semakin mencuat, khususnya di bidang sains, sistem informasi dan industrialisasi, umat islam mau tidak mau harus membekali diri dengan ilmu-ilmu yang terkait seperti diatas dalam menafsirkan al-Qur’an. Hanya dengan bekal itulah kita baru bisa membawa al-Qur’an yang senafas dengan peradaban tanpa harus meninggalkanya.

Keraguan terhadap al-Qur’an hanyalah jawaban atas ketidakmampuan untuk memahami sisi-sisi terdalam makna al-Qur’an. Bagaimana kita meragukanya, sementara al-Qur’an dirancang oleh Tuhan Yang Maha Tahu. Hanya manusia yang tidak mengerti tentang al-Qur’an, lantas dengan mudah mengatakan bahwa tanpa al-Qur’an pun kita bisa.

AL-QUR’AN BAHASA HIPNOTIS

Saya meragukan bahwasanya al-Qur’an hasil pemikiran Tuhan yang orisinil. Hal ini mengingat Qur’an yang setiap hari kita baca, materinya banyak yang diadopsi oleh lembaran-lembaran sejarah yang mendahuluinya. Oleh karena demikian adanya, maka tak semestinya kita terbelenggu dan terpedaya olehnya. Apalagi kita takut untuk menuangkan penafsirannya. Setiap orang mempunyai wewenang untuk menterjemahkan dan memaknainya sesuai dengan disiplin ilmu yang ia miliki. Suatu contoh adakan jaminan seseorang bahwasanya hanya penafsiranyalah yang benar dan sesuai engan kehendak Tuhan?. Kalau benar kapan Tuhan mengoreksinya dan mana buktinya.

Terlepas dari kenapa Tuhan meminjam Bahasa Arab sbagai bahasa al-Qur’an dan bukan Bahasa Indonesia, tapi yang jelas bahwa disini dapat kita pahami bahwasanya hanya dengan bahsalah semuanya bisa komunikatif. Dan agar bahasa al-Qur’an dapat dipahami oleh manusia, maka mau-tak mau Tuhan harus meminjam bahasa manusia sebagai media komunikasinya agar pesan dapat komunikatif kepada komunikan.

Dengan bahasa kita memperoleh pengetahuan dan pemahaman, dan dengan bahasa pulalah kita dapat tersesat jalan dan salah penafsiran. Penomena bahasa yang sangat signifikan inilah yang mendorong kita untuk lebih bisa menempatkan dan bergaul dengan al-Qur’an sebagai keniscayaanya yang becaming dihadapan kita melalui sarana bahasa.

Tidak diragukan bahwa nalar bahasa, gramatika, ataupun retorika selalu tunduk pada aturan bahasa dan konteknya Nalar model ini melihat bahasa sebagai struktur dan sistem atau sebagai konvensi-konvensi dan penyimbolan-penyimbolan, yakni sebagai tanda-tanda yang menunjukan pada objek dan simbol–simbol yang menunjukan pada sesuatu. Hanya saja, situasi bahasa dan pembentukanya memunculkan penomena yang terkait dengan wujud. Oleh karena itu bahasa kehilangan kemampuanya untuk mencipta dan berkreasi, dan kata-kata tercerabut kemampuanya untuk melakukan generalisasi dan pelampauan.

Pendek kata, dengan bahasa mengalir dan memancarlah peristiwa-peristiwa penting yang menciptakan kehidupan kita dan menandai sejarah kita. Dengan bahasa, turunlah wahyu sebagai inspirasi pundamental bagi pemikiran kita dan penuntun agung bagi laku kita.

Namun ironisnya penyakralan kita terhadap bahasa al-Qur’an sebegitu kuat. Sehingga seakan-akan dengan al-Qur’an kita dihipnotisnya untuk kemudian tabu dan takut untuk memaknainya secara kontekstual. Padahal nabi Muammad saw sendiri menitahkan kepada umatnya untuk senantiasa memahami al-Qur’an sebagaimana ia diturunkan atau solah-olah al-Qur’an itu diturunkan kepada kita.

Walhasil, al-Qur’an akan menghipnotis dan membuat kita tak terperdaya dibuatnya, manakala kita tidak bisa memahami al-Qur’an melalui pendekatan linguistik. Al-Qur’an bukanlah bui yang memenjarakan dan mematikan pemikiranan dan kreativitas kita. Tapi sebaliknya kita juga tidak sewajarnya untuk memperkosa atau memenjarakan makna-makna al-Qur’an dengan penafsiran yang frontal dan hampa serta kering dari ilmu-ilmu pengetahuan dan ilmu bantu lain yang dapat menghantarkannya kearah penafsiran.

* * *
Lihat Selengkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar