Kamis, 08 Maret 2012

Berguru kepada Penghuni Alam Lain (1)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Di antara mereka ber-tajassud kepadaku di bumi,
yang lainnya ber-tajassud di udara.
Di antara mereka ber-tajassud di manapun aku berada,
yang lainnya ber-tajassud di langit.
Mereka mengajariku dan aku pun mengajarinya.
Namun, keberadaanku tidak sama.
Aku tetap di dalam entitasku.
Mereka tidak tetap dalam entitasnya.
Mereka menjelmakan diri dalam berbagai bentuk.
Seperti air yang masuk di dalam cangkir yang berwarna.
(Ibnu Arabi, Futuhat Al-Makkiyah, Juz 1 h 735)
Dalam artikel lalu digambarkan kemungkinan orang berguru kepada alam-alam lain. Sebagaimana dilakukan orang-orang khusus yang berhasil menembus hijab atau menyingkap tabir yang juga diisyaratkan dalam Alquran dan hadits. Ternyata tidak sedikit orang berhasil mengakses dan berkomunikasi dengan penghuni alam spiritual itu.

Contohnya, pengalaman batin Ibnu Arabi yang diungkapkan dalam bentuk syair seperti dikutip di atas. Masalahnya di sini adalah mekanisme apa yang dilalui para sufi yang berhasil menembus batas alam spiritual tersebut? Sebelum membahas pertanyaan ini, terlebih dahulu kita perlu memahami apa yang dimaksud alam oleh para sufi.

Secara kebahasaan, alam berasal dari akar kata alima-ya’lamu, berarti mengetahui. Dari akar kata ini terbentuk kata ‘alam yang artinya tanda, petunjuk, atau bendera; dan ‘alamah yang bermakna alamat atau sesuatu yang melalui dirinya dapat diketahui sesuatu yang lain (ma bihi ya’lamu al-syai).

Dalam perspektif tasawuf, alam adalah segala sesuatu selain Allah SWT  (ma siwa Allah). Alam adalah tanda yang menunjuk kepada (adanya) Allah. Alam juga memberikan kesadaran dan pengetahuan. Alam meliputi seluruh universalitas (kulliyyat) alam dengan segenap bentuknya secara ijmali/undifferentiated.

Alam dalam form atau bentuk ini, dalam ilmu filsafat dikenal dengan istilah al-’aql al-awwal/the first intellect. Dari sini, Allah sebagai al-Rahman dimanifestasikan. Di sisi lain, alam mencakup pula hakikat seluruh partikularitas (juziyyat) secara tafshili/differentiated yang terkandung di dalam al-’aql al-awwal/the first intellect.
Dari sini, nama Allah sebagai Al-Rahim dimanifestasikan. Pendapat ini juga banyak diakomodasi di dalam kitab-kitab tafsir, terutama dalam menjelaskan perbedaan konteks antara al-Rahman dan al-Rahim dalam ayat pertama dan ketiga dari surah Al-Fatihah: Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (al-Rahman al-Rahim).

Orang yang menggabungkan kedua karakter alam di atas biasa disebut manusia paripurna (insan kamil), karena secara ijmal/undifferentiated menjadi bagian dalam martabat ruh, dan secara tafshil/differentiated bagian dalam martabat qalb. Insan kamil menjadi sebuah alam universal yang merepresentasikan keseluruhan nama-nama Allah. Ia sudah menjadi manivestasi (madzhar) nama-nama Allah. Pembahasan lebih rinci konsep insan kamil ini akan dibahas dalam satu artikel tersendiri.
Redaktur: Chairul Akhmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar