Minggu, 24 Februari 2013

ADIL )*

Bissmillahirrahmanirrahim ...

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

ADIL itu bukan SAMA, tapi SETARA.

Ada yg bilang “Uang Istri itu uangnya istri aja, uang suami itu ya uangnya istri juga….” setuju nga nih?

Uang istri, memang milik istri sendiri. Tapi uang suami? Walau suami wajib menafkahi istri, tidak otomatis uang suami jadi punya istri

Maka yang benar adalah “Uang istri, itu punya istri. Uang suami, itu punya suami yang juga dibagi bersama istri” kira-kira gitu :)

Lho,,, kenapa harus dibedakan antara uang suami & uang istri, klu sudah nikah kan semuanya jadi milik bersama?

Islam sangat menghormati kepemilikan harta seorang istri. Tidak bisa diganggu-gugat. Dan sebaliknya, harta suami tetap menjadi miliknya. Dan dari harta itu ia berkewajiban penuh memenuhi SEMUA kebutuhan istrinya

Kenapa perlu dipisah antara harta suami & harta istri?
Secara hukum Islam sangat perlu dipertegas mana milik suami & istri.
Karena Pernikahan bisa tidak selamanya (semoga tidak terjadi). Karena kematian itu pasti dan ahli waris suami & istri bisa jadi berbeda.

Hal ini perlu dipertegas agar jika terjadi perpisahan (kematian/perceraian), semua bisa diselesaikan dengan baik. Uang receh sih gpp lah cingcay aja, tapi harta besar seperti rumah, kendaraan, emas, deposito, dll. Sebaiknya atas nama pemiliknya.

Maka saya sedih sekali kalau dengar ada istri yang penghasilannya “dikuasai” suami. Istri jadi sapi perah finansial suaminya.

Sebaliknya, saya juga sedih kalau ada penghasilan suami yang “dikuasai” istrinya. Suami cuma dikasi jatah harian buat kerja.

Suami kasi nafkah ke istri, kewajiban bernilai sedekah. Istri bagi penghasilannya pada suami, juga sedekah. Ngaa perlu “menguasai”.

Istri minta uang ke suami, wajar… Memang sudah jadi kewajiban bagi suami untuk menafkahinya sebatas kemampuannya. Suami minta uang ke istri? NGA BOLEH..!!! Tapi klu dikasih, ya jangan ditolak :)

Wah, klu gitu enak dong jadi perempuan? Hartanya nga diganggu suami, tapi masih tetep boleh minta sama suami?

ADIL itu bukan SAMA, tapi SETARA. Laki-laki dapat warisan 2x lipat, tapi wajib beri nafkah. Wanita dapat setengah, tapi untuk dirinya sendiri. Begitulah aturan hukum syariat tentang harta.

Melebihkan hak orang lain, dianjurkan. Melebihkan hak diri, tak diperkenankan.

Dengan ikhlas memberikan semua penghasilan untuk digabung, nga jadi soal. Asalkan bukan karena paksaan, tapi ikhlas sedekah untuk keluarga. Menyimpan hak diri untuk keluarga asal (ortu/adik) pun nga apa-apa, asalkan tidak mengurangi haknya keluarga inti (istri & anak).

Wallahua'lam Bishowab...
´'`v´'`) Semoga bermanfaat ...
`•.¸.•´ ♥♥* Semoga ALLAH merahmati kita semua....! Aamiin * ♥

“Makam Mbah Ganjur (leluhur Gus Dur) di desa Ngroto Grobogan”



Oleh : Nuruddin Hidayat 

Terdapatnya bangunan masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu bukti nilai sejarah siar agama Islam di kabupaten tersebut . Selain sebagai tempat dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari.
Selain nama besar tokoh Islam di Jawa tersebut, wilayah Desa Ngroto juga menjadi tempat dimakamkannya beberapa tokoh yang ikut menyebarkan Islam di wilayah sekitar. Sebut saja Simbah Khamidin, Simbah Sirodjudin, Simbah Nur Khatam, Simbah Abdul Ghofar Abdul Ghofur yang lebih dikenal sebagai Simbah Mabur Mawur, Kiai Damanhuri, Simbah Abdullah, Simbah KH Masduri Damanhuri, dan Habib Husain Al-Hindwan.
”Desa Ngroto juga merupakan tempat awal Majelis Al Khidmah oleh KH Oetsman dan KH Asrori Al Ishaqi yang berkembang di Jateng dan DIY. Di sini terkenal pula sebagai tempat pengobatan alternatif seperti sangkal putung, patah tulang, pijat bayi dan lain lain,” kata Ketua Ponpes Miftahul Huda Desa Ngroto, ustad Muttaqien, Selasa (2/8).
Karena memiliki nilai sejarah yang tinggi, Ponpes Miftahul Huda yang diasuh KH Munir Abdullah pada setiap kegiatan haul akbar dan Haflah Dzikir Maulidurrasul selalu dibanjiri jamaah. Bahkan setiap selapan (40 hari) sekali pada malam 17-an dalam penanggalan Jawa rutin digelar acara istighotsah dan manaqiban yang diikuti tokoh agama, kiai dari berbagai wilayah serta para habib.
Almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah pula singgah di desa yang sebagian wilayahnya merupakan kawasan genangan dari Sungai Tuntang ini. Sebagaimana penuturan salah satu tokoh masyarakat, Kiai Chumaidi, Desa Ngroto dikenal karena memiliki kontribusi sejarah penyerbuan para Wali Sembilan (Walisongo) atas ibukota Majapahit.
Para Wali Sembilan yang berhasil mendirikan Kesultanan Demak akhirnya membentuk pasukan yang dipimpin Sayyid Abdurrahman dari Desa Ngroto. Sayyid Abdurrahman dipilih oleh Wali Sembilan karena memiliki keterampilan membuat alat musik pukul, sehingga dia diberi delar Ki Ageng Ganjur (alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan wayang). Alat musik Ganjur tersebut dipakai sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukannya.
Sekitar satu abad setelah Kiai Sayyid Abdurrahman Ganjur wafat, datang seseorang bernama Khamidin ke Pedukuhan Ngroto untuk memperdalam ajaran agama Islam. Khamidin kemudian menikah dengan wanita setempat dan diangkat menjadi demang (kepala dukuh). Ki Demang Khamidin meminta kepada Kiai Soleh dari Jatisari, Salatiga  Makam Mbah Ganjur
untuk mendirikan masjid pada sebidang tanah miliknya. Ini untuk lebih mensiarkan agama Islam.
”Pada suatu ketika Kiai Siradjudin berjalan-jalan di pinggir Sungai Tuntang. Karena kepandaian yang dimiliki, dia mampu melihat dua makam lama, yaitu makam Kiai Abdurrahman Ganjur berdampingan dengan ibunya Nyai Syamsiyah yang tertimbun lumpur sungai,” kata Chumaidi.
Oleh Kiai Siradjudin makam tersebut kemudian dibersihkan, dan diberi nisan. Semua penduduk diajak merawat makam itu, karena almarhum Kiai Abdurrahman Ganjur adalah orang yang berjasa mengislamkan penduduk Ngroto.
Jati Glondongan
Bangunan Masjid Jamik Sirodjuddin Ngroto yang terbuat dari kayu Jati glondongan (utuh-red), sampai sekarang ini masih berdiri kokoh.
Bangunan masjid ini memiliki keunikan, yaitu tidak pernah terdapat rumah serangga yang menempel, meskipun sejak pertama berdiri belum pernah dibersihkan. Kentongan yang dibuat bersamaan waktu masjid dibangun hingga sekarang disimpan dekat mimbar.
Berkat jasa-jasanya ketika wafat jenazah Kiai Siradjudin dimakamkan di sebelah timur makam Kiai Abdurrahman Ganjur.
 Di atas makam tersebut dibuatkan cungkup dengan bentuk yang sangat cantik. Untuk menghormati jasanya, setiap tanggal satu syura digelar haul bersamaan dengan haul Kiai Abdurrahman Ganjur.
Saat ini di Desa Ngroto terdapat Ponpes Miftahul Huda dan lembaga pendidikan Yaspia (Yayasan Pejuang Islam Abdurrahman Ganjur), sebagai salah satu bukti bahwa desa tersebut memiliki sejarah perkembangan Islam yang cukup besar. Bangunan Masjid Jamik Sirodjuddin Ngroto di lokasi Ponpes Miftahul Huda juga mampu menampung jamaah Al Khidmah yang melakukan kegiatan ritual keislaman.

Menilik Ulang Makna Dan Istilah Kyai



Di zaman yang sudah tak jelas rimbanya ini, bukan perkara mudah untuk mengklasifikasikan figur ideal seorang Kyai. Apalagi jika dihubungkan dengan fungsinya dalam menghadapi arus globalisasi. Sebab kini Kyai tak lebih dari penjelmaan makhluk yang ambigu (berwajah dua & berpendirian ganda), bahkan penuh anomali. Kendati pernyataan ini tak dapat mengingkari fakta bahwa Kyai, hingga kini, juga masih diyakini sebagai sumur moral yang diharapkan akan keberkahannya. Singkatnya, Kyai adalah makhluk bertuah!

Bicara Kyai tidak serta merta dapat menyamakannya dengan term Ulama yang selama ini kita ketahui. Kyai lebih erat dengan budaya ketimuran, pun juga tak hanya berkonotasi pada gambaran akan seorang yang mendalam ilmu agamanya. Seperti ketika Nusantara ini masih hidup di bawah ketiak kekuasaan Majapahit, banyak masyarakat yang menganggap barang-barang mistis nan klenik sebagai “Kyai”. Kyai Nogososro, misalnya. Tentu kita tak menduga bahwa Kyai Nogososro, ini adalah sebatang pohon yang dikeramatkan oleh masyarakat JawaTengah di wilayah Pantura dulu.

Karenanya, kurang bijak jika membahas Kyai hanya memakai pisau analisa lama khas para ulama Salaf as-Sholeh. Imam Ghozali, semisal. Dalam salah satu karya monumentalnya, Ihya’u Ulumiddin, beliau pernah sedikit menyinggung tentang tipologi seorang Ulama. Menurutnya Ulama ada dua macam; satu Ulama akhirat, dan dua Ulama dunia. Ulama akhirat adalah mereka yang masih teguh memegang kaidah-kaidah yang sudah digariskan agama via Nabi Muhammad saw. Sebaliknya, Kyai dunia ialah mereka yang telah terjerat arus dunia yang sarat glamour dan manipulasi.

Ini adalah gambaran klasik tentang Ulama atau Kyai tempo doeloe. Kini lebih kompleks lagi. Makna Kyai tidak terbatas pada dua klasifikasi itu. Sebab memang orang sekarang begitu maniak membuat jargon, simbol dan istilah yang runyam. Misalnya, beberapa tahun lalu almarhum almaghfurlah Gus Dur mewacanakan satu lagi tentang macam Kyai, yakni Kyai Kampung. Dalam kacamata Gus Dur, Kyai kampung merupakan personifikasi Kyai yang masih dekat otentisitasnya dengan Kyai akhirat seperti yang dijelaskan Imam Ghozali. Artinya, Kyai semacam ini ialah mereka-mereka yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mangabdi pada Allah, semesta dan manusia. Lain tidak!

Mengapa cucu pendiri NU itu mengkaitkannya dengan istilah “Kampung”? Sebab kyai-kyai semacam itu lebih banyak yang hidup di pelosok-pelosok kampung, jauh dari hiruk-pikuk dunia (apalagi politik!) dan hidupnya amat besahaja. Hidup mereka hanya dicurahkan untuk memeberi pencerahan dan penyuluhan bagi lingkungan sekitar. Bahkan banyak di antara mereka, saking intensnya mengamalkan amanah-Nya itu, sampai merelakan diri untuk hidup di dalam kubangan derita dan penjara kekurangan secara duniawi –meski hal itu tak terlalu mereka hiraukan. Tentunya Kyai model begini sekarang amat langka, bukan?

Lazimnya yang terjadi saat ini adalah seorang Kyai yang bermutasi menjadi selebritis, sibuk berebut jabatan dan proyek, sibuk menjajakan agama sebagai komoditas politik dan ekonomi, sibuk menjadi broker, jurkam atau tim sukses. Inilah gejala mutakhir yang terjadi pada habitus para Kyai kita saat ini. Sebuah gejala yang menurut istilah G.W Allport dalam bukunya, The Individual and His Religion, menjadikan agama sebagai unsur peluaran belaka. Artinya, di sini para Kyai telah menjadikan agama hanya diproyeksikan sebagai kendaraan untuk menjemput kepentingan-keuntungan sesaat dan golongan saja. Contoh yang paling kentara ialah ketika negeri ini hendak menuju pemilu, tentu. Berbagai partai, tanpa pandang latar belakang, ramai-ramai menggunakan agama sebagai alat mengeruk suara massa.
Istilah Baru

Istilah-istilah ini belum menginjak ke wilayah yang lebih luas dan kontemporer cakupannya. Semisal, kategori Kyai Khos, Kyai Am, Kyai Langitan, Kyai Daratan, atau tetek bengek lainnya. Kyai-kyai inilah yang begitu hobi membuat umat linglung dalam keterpecah-belahan kepentingan politik golongan yang parsial dan sesaat. Tak usah disebutkan di sini contoh konkritnya, sebab saban hari kita sudah kenyang dijejali informasi akan itu. Lebih lucu lagi, baru-baru ini dekan Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya, Abd. A’la, turut menyumbang satu item untuk entri Kyai. Yakni: Kyai Karbitan dan Kyai Genetika. Apalagi ini?

Secara sederhana, Kyai Karbitan tak jauh beda maknanya dengan Kyai “jadi-jadian” yang hanya mengikuti selera trend zaman dan pasar modal. Tipe ini banyak dijumpai di media elektronik (TV, radio, internet) terutama, juga di media cetak (koran, tabloid, majalah). Apalagi jika bulan Ramadlan tiba, wabah Kyai “siluman” ini semakin menggila saja bak jamur di musim penghujan. Lalu apa maksud Karbitan? Tak lain karena kyai-kyai yang demikian muncul ke permukaan hanya jika job sedang ada di tangan. Maka wajar jika kemudian mereka dijuluki sebagai Kyai Karbitan, lantaran memang mereka disubsidi (dikarbit-i?) oleh job dari para pemodal.

Sedangkan Kyai Genetika menunjuk pada status Kyai yang diperoleh karena motif nasab, garis keturunan. Atau dalam plesetan para santri umumnya, yang demikian lazim disebut sebagai Kyai tiban atau Kyai nasib. Kyai Genetika dalam prakteknya tidak beda jauh dengan model Kyai Karbitan. Tidak jauh beda dalam hal potensi, mental, spiritual dan intelektual tentunya. Karena, seperti sudah disentil Abd. A’la, Kyai Genetika jarang yang mempunyai kualifikasi mumpuni dalam multi-bidang keagamaan. Bagaimana mau mumpuni? Wong status itu merupakan kebetulan (atau kemestian?) saja, bukan sebuah panggilan kehidupan.
Kembali ke Fitrah

Apapun itu, sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi mereka yang berstatus Kyai, Alim-Ulama, Ustadz, atau apapun namanya, untuk kembali ke fitrah dan misi awal mereka berpijak dan berangkat. Yakni sebagai pengemban tugas suci kenabian sabagimana Nabi Besar mencontohkan. Tinggal bagaimana nanti pengamalannya disesuaikan dengan konteks zaman di mana Kyai itu hidup sekarang. Bagaimana konkritnya? Wal ulama’u A’lamu.

Oleh: M. Khoirul Anwar KH.

Minggu, 17 Februari 2013

PENDETA MASUK ISLAM SETELAH MEMBACA INJIL HEBRON

Thomas Leiden adalah keturunan solok dari sabar Malaysia. Semula ioa penganut roman katolik. Ia sempat mengenyam pendidikan di seminary kepaderian vatikan, Italia atas biaya persatuan Kristen sabah.

Semasa menjadi paderi, Thomas kerap membuat catatan sederhana mengenai Islam, Buddha, hindu, dan Kristen untuk menambah pengetahuan. Ini semua dipicu
oleh konflik diri yang terus menguat terhadap eksistensi paderi. Seorang paderi diberi tanggung jawab besar untuk mengampuni dosa manusia. Hal inilah yang membuat keyakinan iman Thomas mulai digerogoti keraguan. Bagaimana mungkin manusia biasa bias mengampuni dosa manusia lain, sedangkan para Nabi dan Rosul saja tidak mampu mengampuni dosa manusia. Keraguan ini kemudian mendorong Thomas untuk lebih serius mempelajari agama Islam.

Semasa belajar di vatikan, suatu hari ia diberi tugas oleh seorang paderi untuk menjaga sakristi perpustakaan yang terdapat di gereja. Sebelum meninggalkan Thomas, seraya menyerahkan sejumlah kunci almari perpustakaan tersebut, paderi itu berpesan agar Thomas tidak membuka salah satu almari disana. Tentu saja larangan ini membuat Thomas heran, sementara kunci almari tersebut diserahkan kepadanya. Larangan ini justru membuat Thomas penasaran. Akhirnya, ia pun mengambil sebuah kitab injil berbahasa hebron dalam almari tersebut. Thomas menemukan banyak sekali kebenaran, terutama yang berkaitan dengan agama islam, yang selama ini sama sekali tidak pernah diungkap. Thomas berpikir ini barangkali sengaja disembunyikan. Dengan kesadarannya, injil hebron itu pun disembunyikan untuk dikaji lagi lebih mendalam.
Suasana pun gempar karena kehilangan injil hebron itu. Namun tak sampai mencuat ke permukaan. Paderi yang pernah menitipkan kunci sakristi perpustakaan menanyai Thomas apakah ioa yang mengambil injil hebron itu. Jelas saja, Thomas menjawab tidak. Ia takkan mengakui bahwa sebenarnya dialah yang mengambil injil hebroon itu. Sebab ia ingin menguak kebanaran yang terkandung dalam kitab tersebut.

Akhirnya, pada saat pembaiatan sumpah para paderi, disebabkan injil tersebut hilang, mereka meletakkan kitab suci Al-Quran (yang dibalut dan senantiasa tersimpan di almari) sebagai ganti injil hebron tadi. Al-Quran digunakan di dalam upacara mengangkat sumpah. Semua paderi tidak tahu hal ini kecuali Thomas.
Pada akhirnya Thomas memeluk islam dan sampai saat ini bekerja di Majelis Agama Islam Malaka. (Kisah Para Mualaf Merengkuh Hidayah, 2010)

Konsep Ekonomi Islam


Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari'ah) harus diawasi oleh masyarakat secar keseluruhan, berdasarkan aturan Islam.
Penjelasan

Yang kami maksud dengan istilah ini adalah perangkat perintah dan aturan sosial, politik, agama, moral dan hukum yang mengikat masyarakat. Lembaga-lembaga sosial disusun sedemikian rupa untuk mengarahkan individu-individu sehingga mereka secara baik melaksanakan aturan-aturan ini dan mengontrol serta mengawasi penampilan ini. Berlakunya aturan-aturan ini membentuk lingkungan di mana para individu melakukan kegiatan ekonomik mereka. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya dengan Kekuatan Tertinggi (Tuhan), kehidupan, sesama manusia, dunia, sesama makhluk dan tujuan akhir manusia. Di sini hanya akan meneliti beberapa aturan "permainan" ekonomi Islam itu tanpa mendalami berbagai implikasi yang timbul daripadanya, karena (hal itu) berada di luar cakupan uraian ini.

1. Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhluk-Nya. Manusia, tanpa diragukan, merupakan tatanan makhluk tertinggi diantara makhluk-makhluk yang telah dicipta-Nya, dan segala sesuatu yang ada di muka bumi dan di langit ditempatkan di bawah perintah manusia. Dia diberi hak untuk memanfaatkan semuanya ini sebagai khalîfah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan (khilâfah) ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya dari barang-barang ciptaan Allah ini.

2. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu-individu lainnya. Dia telah menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap manusia; penampilan (perilaku) mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari'ah) harus diawasi oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan Islam hak-hak yang diterima oleh manusia dari Allah dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial merupakan kewajiban-kewajiban manusia terhadap umat Muslim.

3. Semua manusia tergantung pada Allah. Semakin ketat ketergantungan manusia kepada Allah maka dia semakin dicintai-Nya. Setiap orang secara pribadi bertanggung jawab atas pengembangan masyarakat dan atas lenyapnya kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi; individu ini pada akhirnya bertanggung jawab atas setiap kegagalan usaha masyarakat dalam bekerjasama dan melakukan kerja kolektif .

4. Status khalîfah atau pengemban amanat Allah itu berlaku umum bagi semua manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh berkaitan dengan tugas kekhalifahan itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari alam semesta itu. Mereka memiliki kesamaan hanya dalam kesempatannya, dan setiap individu bisa mendapatkan keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu dicipta (oleh Allah) dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara instinktif diperintah untuk hidup bersama, bekerja bersama, dan saling memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing. Namun demikian ini tidak berarti (bahwa Islam) memberikan superioritas (kelebihan) kepada majikan terhadap pekerjanya dalam kaitannya dengan harga dirinya sebagai manusia atau dengan statusnya dalam hukum. Hanya kadang-kadang saja bahwa pada saat tertentu seseorang menjadi majikan dan (pada saat lain) menjadi pekerja. Pada saat lain situasinya bisa berbalik dan mantan majikan bisa menjadi majikan, dan sebagainya; dan hal serupa juga bisa diterapkan terhadap budak dan majikan.

5. Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Tidak ada pembedaan bisa diterapkan atau dituntut berdasarkan warna kulit, ras, kebangsaan, agama, jenis kelamin atau umur. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu disesuaikan dengan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya dan dengan peranan-peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial. Berdasarkan hal inilah beberapa perbedaan muncul antara orang-orang dewasa, di satu pihak, dan orang jompo atau remaja, di pihak lain, atau antara laki-laki dan perempuan. Kapan saja ada perbedaan-perbedaan seperti ini, maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka harus diatur sedemikian rupa sehingga tercipta keseimbangan.
Islam tidak mengakui adanya kelas-kelas sosio-ekonomik sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip persamaan maupun dengan prinsip persaudaraan (ukhuwwah). Kekuatan ekonomik dibedakan dengan kekuatan sosio-politik, antara lain, karena adanya fakta bahwa tujuan-tujuan besar dan banyak rinciannya ditekankan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan karena dilestarikannya metode-metode yang digunakan oleh umat Muslim untuk menetapkan hukum mengenai hal-hal rinci yang tidak ditentukan sebelumnya.

6. Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan dan kemalasan dinilai sebagai kejahatan. Dalam kepustakaan Islam modern orang bisa menemukan banyak uraian rinci mengenai hal ini. Al-Qur'an mengemukakan kepada Nabi dengan mengatakan: "... dan katakanlah (Muhammad kepada umat Muslim): Bekerjalah." Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan. Ibadat yang paling baik adalah bekerja, dan pada saat yang sama bekerja merupakan hak dan sekaligus kewajiban. Kewajiban masyarakat dan badan yang mewakilinya adalah menyediakan kesempatan-kesempatan kerja kepada para individu. Buruh yang bekerja secara manual dipuji dan Nabi SAW diriwayatkan pernah mencium tangan orang yang bekerja itu. Monastisisme dan asketisisme dilarang; Nabi SAW diriwayatkan pernah bersabda bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan keperluan-keperluan lain untuk dirinya (dan keluarganya) lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat tanpa mencoba berusaha mendapatkan penghasilan untuk menghidupinya sendiri. Sebagai konsekuensinya, menjadi imam shalat dan berkhutbah dalam Islam merupakan pekerjaan sukarela yang tidak perlu dibayar. Nabi SAW pernah memohon kepada Allah SWT untuk berlindung diri agar beliau, antara lain, tidak terjangkit penyakit lemah dan malas.

7. Kehidupan adalah proses dinamik menuju peningkatan. Ajaran-ajaran Islam memandang kehidupan manusia di dunia ini sebagai pacuan dengan waktu. Umur manusia sangat terbatas dan banyak sekali peningkatan yang harus dicapai dalam rentang waktu yang sangat terbatas ini. Kebaikan dan kesempurnaan sendiri merupakan tujuan-tujuan dalam proses ini. Nabi SAW diceritakan pernah menyuruh seorang penggali liang kubur untuk memperbaiki lubang yang dangkal di suatu kuburan meskipun hanya permukaannya saja. Beliau menetapkan aturan bahwa "Allah menyukai orang yang, bila dia melakukan sesuatu melakukannya dengan cara yang sangat baik."

8. Jangan membikin madarat (kesulitan) dan jangan ada madarat" adalah frasa yang senantiasa diucapkan oleh Nabi SAW. Frasa ini berarti "madarat yang direncanakan secara sadar dan dilakukan oleh seseorang untuk menyakiti, dan juga yang dilakukan sekedar untuk melukai. Fakta mengenai madarat yang menyakitkan seseorang perlu mendapatkan perhatian, baik yang disengaja oleh pelakunya untuk maksud tersebut maupun yang tidak dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Madarat harus dilenyapkan tanpa mempertimbangkan niat yang melatarbelakanginya. Namun kita harus cukup realistik dalam mengamati bahwa menghilangkan "madarat" sama sekali dari kehidupan manusia adalah tidak mungkin. Madarat itu sendiri selalu tidak diharapkan. Namun bila hal itu merupakan syarat yang tidak dapat dielakkan adanya, maka ia bisa dibenarkan."

9. Suatu kebaikan dalam peringkat kecil secara jelas dirumuskan. Pelaksanaan kebaikan ini diawasi oleh lembaga-lembaga sosial yang pada akhirnya mewajibkannya dengan kekuatan hukum. Menurut Islam tidak cukup bila hanya mempercayakan kepada niat baik seseorang untuk melakukan, katakanlah, perbuatan-perbuatan santun (memberikan sadaqah). Sebaliknya, sebagian besar dari apa yang disebut santunan sukarela dalam masyarakat non-Muslim harus didukung oleh hukum dalam masyarakat Muslim. Setiap Muslim dihimbau oleh sistem etika (akhlak) Islam untuk bergerak melampaui peringkat minim dalam beramal salih. Mematuhi ajaran-ajaran Islam dalam semua aspeknya, oleh Islam dianggap sebagai sarana untuk mendapatkan ridla Allah.

Ada beberapa prinsip yang melandasi fungsi-fungsi pasar dalam masyarakat Muslim. Semua harga, baik yang terkait dengan faktor-faktor produksi maupun produknya sendiri bersumber pada mekanisme ini, dan karena itu diakui sebagai harga-harga yang adil atau wajar. Barangkali hal ini tidak sejalan dengan konsep "harga yang adil" menurut Siddîqî yang didasarkan atas ongkos produksi. Karena itu dalam kajian ini lebih baik digunakan istilah "harga yang sesuai," bukan "harga yang adil." Sebagai konsekuensinya, istilah yang kami gunakan ini lebih sesuai dengan berbagai tradisi dalam Hukum (Fiqh) Islam dan dapat mengekspresikan isi konseptual istilah tersebut secara lebih memuaskan. Pembahasan rinci mengenai "teori harga yang sesuai" dapat dibaca dalam, "The Economic Views of Ibn Taimiyyah."

Komentar yang kedua mengenai analisis terdahulu ialah bahwa mekanisme pasar dalam masyarakat Muslim tidak boleh dianggap sebagai struktur atomistik. Memang Islam tidak menghendaki adanya koalisi antara para penawar dan peminta, tetapi ia tidak mengesampingkan kemungkinan adanya akumulasi atau konsentrasi produksi selama tidak ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama. Namun dalam prakteknya, adanya akumulasi dan atau konsentrasi harta itu bisa mengundang campur tangan pemerintah. Campur tangan ini bisa berbentuk pengambilalihan produksi yang dimonopoli (oleh perorangan atau perusahaan tertentu) atau pengawasan dan penetapan harga oleh pemerintah.

Yang ketiga dan terakhir adalah mengenai teori nilai. Dalam ekonomi Islam tidak ada sama sekali pemisahan antara manfaat normatif suatu mata dagangan dan nilai ekonomiknya. Dengan perkataan lain, semua yang dilarang digunakan tidak memiliki nilai ekonomik. Tentu saja karena minuman keras tidak bernilai sama sekali dalam masyarakat Muslim, maka semua penawaran yang ada harus dianggap tidak ada dan setiap usaha untuk memproduksi dan mendistribusikannya sama sekali dianggap sebagai pemborosan dalam pengertian ekonomik.

... KEUNIKAN MATEMATIKA ...


1 x 8 + 1 = 9
12 x 8 + 2 = 98
123 x 8 + 3 = 987
1234 x 8 + 4 = 9876
12345 x 8 + 5 = 98765
123456 x 8 + 6 = 987654
1234567 x 8 + 7 = 9876543
12345678 x 8 + 8 = 98765432
123456789 x 8 + 9 = 987654321

1 x 9 + 2 = 11
12 x 9 + 3 = 111
123 x 9 + 4 = 1111
1234 x 9 + 5 = 11111
12345 x 9 + 6 = 111111
123456 x 9 + 7 = 1111111
1234567 x 9 + 8 = 11111111
12345678 x 9 + 9 = 111111111
123456789 x 9 + 10 = 1111111111

9 x 9 + 7 = 88
98 x 9 + 6 = 888
987 x 9 + 5 = 8888
9876 x 9 + 4 = 88888
98765 x 9 + 3 = 888888
987654x 9 + 2 = 8888888
9876543 x 9 + 1 = 88888888
98765432 x 9 + 0 = 888888888

Hebatkan?

Coba lihat simetri ini :
1 x 1 = 1
11 x 11 = 121
111 x 111 = 12321
1111 x 1111 = 1234321
11111 x 11111 = 123454321
111111 x 111111 = 12345654321
1111111 x 1111111 = 1234567654321
11111111 x 11111111 = 123456787654321
111111111 x 111111111 =
123456789876543 21

kurang hebat,,,,?????

Sekarang lihat ini
Jika 101% dilihat dari sudut pandangan
Matematika, apakah ia sama dengan 100%,
atau
ia LEBIH dari 100%?
Kita selalu mendengar orang berkata dia bisa
memberi lebih dari 100%, atau kita selalu
dalam
situasi dimana seseorang ingin kita memberi
100% sepenuhnya.
Bagaimana bila ingin mencapai 101%?
Apakah nilai 100% dalam hidup?
Mungkin sedikit formula matematika dibawah
ini
dapat membantu memberi
jawabannya.

Jika ABCDEFGHIJKLMNO PQRSTUVWXYZ

Disamakan sebagai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Maka, kata KERJA KERAS bernilai :
11 + 5 + 18 + 10 + 1 + 11 + 5 + 18 + 19 + 1
=
99%

H-A-R-D-W-O-R-K
8 + 1 + 18 + 4 + 23 + !5 + 18 + 11 = 99%

K-N-O-W-L-E-D-G -E
11 + 14 + 15 + 23 + 12 + 5 + 4 + 7 + 5 = 96%

A-T-T-I-T-U-D-E
1 + 20 + 20 + 9 + 20 + 21 + 4 + 5 = 100%

Sikap diri atau ATTITUDE adalah perkara
utama
untuk mencapai 100% dalam hidup kita. Jika
kita
kerja keras sekalipun tapi tidak ada ATTITUDE
yang positif didalam diri, kita masih belum
mencapai 100%.

Tapi, LOVE OF GOD
12 + 15 + 22 + 5 + 15 + 6 + 7 + 15 + 4 =
101%

atau
, SAYANG ALLAH
19 + 1 + 25 + 1 + 14 + 7 + 1 + 12 + 12 + 1 +
8 =
101%

ALLAHU AKBAR ...
)*Sumber